Otentik atau Imitasi

Pengalaman otentik akan didapatkan dalam ruang diri saat sendiri

Sebaliknya, pengalaman imitasi akan lbh sering didapatkan dari mendekatkan pada kumpulan 

Identitas?

Diri yg dipenuhi oleh variable² nilai dariluar – yg mendesak kedalam dan memenuhi itu Diri

Ato Sebaliknya, Diri didesak dari dalam dan dipenuhi oleh pemaknaan atas diri itu sendiri,  itulah Otensitas

Pengalaman intim seperti itu, sensasi seperti itu, tidak akan bisa d rasakan oleh Insitusi semacam Negara ato Mayoritas,

Lalu, bagaimana mungkin negara dan mayoritas berhak mengurusi pengalaman otensitas, sementara negara sendiri tidak dimungkinkan mengalami pengalaman otensitas, syaraf negara adalah syaraf imitasi dari sebagian partikel yg singular, partikular – yg dipaksakan menjadi Universal

Misteri Pikiran Orang Lain

Apakah Open minded itu mungkin? Usaha meminta org lain utk open mind bahkan secara paradoksal justru meng – Closed mind – dirinya sendiri sejak awal, dimulai persis saat dia minta org lain utk Open mind

tidak minta org lain harus open mind aku pikir itu lebih mendekati makna dari pada kata

Kamu boleh datang dan pergi

Open mind adalah jalan plural, bahkan mngkin tentang mentoleransi yg mngkin sedang tak mentoleransi dengan yg aku suka dan mau,

knapa tak toleran? sma sperti pertanyaan kenapa harus toleran? kenapa harus berusaha memahamimu, usaha memahami bahkan berangkat dari ego ingin dipahami, adakah jalan yg tak perlu kau memahamiku? sehingga sibuk nya ini bukan itu

Tidak semua org bisa memahami eksistensinya sendiri, begitu pula “dikte” dari budaya yang kadang mmbuat kamu tak mudah berdaya utk memilih sebagai kamu seutuhnya,

pada dasarnya kata “aku” bukanlah milik siapa-siapa bahkan bukan milikku, apalagi milik satu budaya apa ato apa apa yg lain itu, maka mampu menertawakan apa yg sedang dipegang mati-matian mnjadi perlu, agar kata “aku” tidak digunakan untuk menyembunyikan aku,

Orang tak nyaman klo kamu tak mudah di pahami maka org lebih memilih memahamimu dengan jalan pikirannya sendiri

yg menghadirkan kamu sebagai kamu, tak keberatan dengan konsepmu, aku hadir bukan hanya karena konsepku,

keberadaan lebih penting daripada kesamaan (kenapa harus sama), keberadaan (aku ada) harusnya lebih lebih bermakna daripada kita sama, krna makna hanya mungkin jika orang satu dan yg lainnya ADA, tanpa orang lain apa kamu ada maknanya? cukup berjalan apa kata bintang kita masing-masing

Memahami itu sebuah jalan plural yg intim – butuh pengorbanan diatas altar harga diri juga keikhlasan –

sprti Matahari hanya sadar tugasnya memberi

jika sudah membahas ini, mngkin kamu tak lagi common sense,

Maka, jalan sunyi yg kamu pilih mskipun disekitarmu ramai dan meskipun selalu bersuka cerita bersama mereka.

Semena-mena atas nama Efisiensi.Pandemi serta alasan atasnya.

Apakah terlalu optimis itu baik? ato terlalu pesimis itu buruk?, dalam akuntansi tidak baik terlalu optimis pun terlalu pesimis. anggaran akan kacau, emosi berlebihan itu biayanya besar. Itu tampak juga dlm cara menghargai orang lain, bagi hubungan yg sekedar bekerja sama (kita bukan keluarga), menghargai adlh memberikan “harga” atas waktu yg sudah diberikan, begitu hukumnya, tapi tidak lagi berlaku sprti itu.

Kebiasaan mencuri justru lebih sering dilakukan orang dengan kekuasaan, bedanya, bagi org yg tak punya kekuasaan, mereka tak berdaya menciptakan opini – mereka bukan penguasa atas definisi2 – itu karena mereka tak punya apa apa lagi selain tubuh dan waktu, hak kuasa atas diri mereka juga tercerai karena terpuruk dipasar.

Bagaimana ya menciptakan kesadaran kolektif untuk hal sprti ini? ini penting agar kekuasaan itu tidak sembrono, bisnis tentang kemanusiaan, klo bukan karena itu, tekhnologi pun tak ada gunanya krna manusia tak lgi relevan, apa gunanya produk tanpa daya beli pekerja (baca : masyarakat). jangan tertawakan saat org mnta hak nya, kamu lebih mngerti.

Ini Puisi bukan Artikel, Puisi tanpa Rima, salah satu tugas Puisi adalah Kritik, merekonstruksi kembali pemahaman, untuk pemahaman2 yg sudah terlalu terkontaminasi realitas transaksional semata.

Hubungan yang ternyata, hanya dengan Benda

Oleh : Kahn

Yang identik dengan kebosanan adalah suatu hubungan terhadap produk / benda, awalnya suka, ingin memiliki, dan dia pikir akan berguna, kemudian dibeli dan “dipakai”. pertama kali sampai beberapa saat – sangat menyenangkan memakainya, bahkan bisa menaikkan prestise, tapi setelah sudah berkali-kali dipakai, nilai manfaatnya akan berkurang dan mulai jadi membosankan, rasa bosan yang terus menerus akan berubah menjadi Benci (hukum Gossen).

Jadi, jika memandang suatu hubungan hanya seperti suatu produk / benda – yang selalu mau aku gunakan untuk memuaskan diriku, maka konsekuensinya adlah Bosan.

CINTA sebenarnya identik dengan menghargai Privasi.

Memberikan “Me time” itu perlu, dan jangan terlalu ingin mengintervensi, memperlakukan nya hanya sebagai benda, objek pemuas saja. sebagai individu terlepas dari tanggung jawab dia sebagai pasangan, teman, suami ato istri, dia adalah subjek yang punya Zona nyaman sendiri, dan itu adalah privasi. yang paling bisa memaknai dirinya adalah dirinya sendiri, salah jika minta orang lain yg memaknai dirinya, bukannya itu jadi sangat *maaf, murahan ya jika tak punya privasi.

Sebagai pribadi, sebenarnya setiap orang mampu mengatasi dirinya, namun dihadapan kegamangan eksistensi, sebagai pribadi butuh orang lain utk memaknai “arti diri”. arti diri ini kemudian menyatu dalam tujuan bersama.

Dan dihadapan tujuan bersama arti diri tetap tak mau kehilangan diri-nya. cukup menjadi suatu bagian, tapi bukan berarti mau diambil semuanya. manusia bukan objek atas manusia lainnya.

Seperti Bunga, jika sekedar Suka, maka kamu petik dan bunga mati, tapi, Jika Cinta, yg kamu sibukkan adalah menyirami, proses menyirami sama artinya dengan memberikan kontribusi, bunga yang selalu mekar akan selalu memberikan pesonanya.

Kontribusi itu suatu proses aktualisasi diri, terlepas berguna ato tidak kontribusi yang kita berikan, itu bukan urusan kita, itu sepenuhnya urusan Bunga, orang jadi bermanfaat ya klo ada yg “memanfaatkan” (yang menurut orang lain bermanfaat), sekali lagi itu bukan urusan kita.

Setiap kontribusi juga bukan tentang kehilangan diri (merasa telah berkorban) justru sebaliknya dengan kontribusi – akan ada ruang dalam diri yang semakin terisi.

In Memorian , We’ve grown together,

Bro, kata tmn2 kamu sudah tiada, mereka salah, kamu ada, masih tetap ada, yg pernah hidup akan tetap ada, kamu skrg ada di dlm sana, itu saja, kamu sedang berproses berubah menjadi unsur yg lain, semua orang begitu, tidak kemana2

Metabolisme memang sudah berhenti tapi keberadaan tetaplah keberadaan,
ENERGI DIDUNIA INI KEKAL DAN JUMLAHNYA SELALU SAMA.

Bahasa yg kamu gunakan sekarang sudah berbeda, skrg lebih universal dan bebas, tidak sperti kita yg masih terjebak dalam konsep dan kata, lahir – pulang, ada dan tiada, merasa berarti dan tidak, kesombongan juga prasangka, kita masih menderita karena konsep2 itu.

Dengan waktu, kamu sedang menyatu dngn tanah, tanah dan kamu mjdi unsur yg menumbuhkan kehidupan baru diatas tanah : rumput, daging ternak, padi, dll

Protein telah menambah berat bayi – yg hanya seberat 3 kg mjdi 65 kg disaat remaja, dan berlanjut dalam usia, apakah ada unsur yg hilang?, tidak, semuanya terus berputar. Daging kita, yg kita rasakan tumbuh, pun hasil dari protein yg dimulai dari tanah kembali ke tanah dan diserap lagi oleh kehidupan di atas tanah.

nanti, Buah yg ada di pasar, udara yg ada disekitar, akan ada unsur yg itu dari kamu,
mata kita saja yg sedang terbatas tak bisa melihat unsur itu, kedepan, dngn tekhnologi kita akan paham banyak sekali unsur dan DNA yg bertebaran kemana2 yg bisa di lihat dngn mata.

Kita akan bertemu dalam unsur yang lain, mungkin mjdi angin, mjdi bagian dari air, sedang berada di awan, atau protein kita menjadi kehidupan baru bagi bayi2, kita ikuti saja.

Kita rayakan setiap perubahan,
perubahan unsur- itu biasa,
tidak ada yang pergi, dan sampai bertemu lagi.

Relasi vs Transaksi

oleh : Kahn

Memberikan kritik atas jiwa adlh tugas sastra dan puisi, mengembalikan manusia kepada hubungan relasi tak sebatas transaksi.

Dunia hari ini mau dipraktiskan, yg banyak transaksi yg menjadi inspirasi, jiwa pun dikapitalisasi, seperti kisah Diogenes waktu di pasar, dgn membawa lentera di siang hari dia berteriak : mana manusia mana manusia? , pasar & politik adlh tempat manusia berpura-pura, memakai baju kebesaran dan kehilangan diri, dengan baju baju – mereka bertransaksi.

Tentang hati yg menolak relasi,
maunya hanya ingin bertransaksi,
melihat manusia hanya konsepnya,
bukan manusia itu sendiri,
mau membangun relasi karena ingin bertransaksi (aku akan begini jika kamu juga begini)

Dari situ kita tahu mereka melihat kita bukan melihat “Dirikita”, tapi mereka melihat konsep mereka sendiri kepada dirikita, kita ada utk memuaskan hasratnya saja. Kita hanya dijadikan objek harapannya, seperti benda. sbnrnya yg mereka lihat hnyalah dirinya sendiri.

Hasrat ingin menjadi pusat dunia adlh usaha melihat dunia sebatas transaksi, semua org harus peduli aku disini, aku harus dipahami dan dimengerti, nilaiku – yg penting disini, pasti ada satu sisi yg tidak sehat disitu, dan itu masalah relasi, bagaimana dia memaknai manusia itu sendiri.

Untk hidup dngn org berbeda, kamu tdk perlu sama. Hargai org yg belum bisa menghargaimu, dngn bgtu mereka lupa tlah pernah mmaksakan konsep-nya sndiri kepada kamu.

Berpikir Rasional dalam Demokrasi

oleh : Kahn

17 Okt 2020

Tujuan tulisan : Mereduksi emosi, untuk mengembalikan peran individu sebagai subjek dan bukan lagi mnjadi objek dari luar dirinya

MENGHARGAI bukan berarti Setuju, tidak setuju juga tidak harus memaki-maki, kritis tidak sama dengan caci-maki, kritis tidak sama dengan bullying, kritis adalah tentang argumen rasional apa yg paling menguatkan dalam penyelesaian masalah, lebih mengedepankan adanya dialog.

Mengemukakan pendapat itu penting tanpa membuat suatu hubungan menderita, berpikir rasional merupakan kemampuan seseorang untuk berfikir relevan dan logis didukung oleh data yang bisa dipertanggung jawabkan, dan tanpa melibatkan sentimen personal.

Tentang emosi, By desain, media sosial memang mau memancing otak yang mengatur emosi, agar masyarakat berlomba-lomba untuk mengkonsumsi (konsumtif) semakin banyaknya konten tidak lepas karena adanya support Iklan, peran Iklan menjadi penting, Iklan membangun merk, dan merk menjadi simbol identitas seseorang – lebih percaya diri saat memakai merk atau simbol tertentu, contoh : merasa punya status sosial yang superior (by case) saat gadget kita tertera logo Apel digigit atau sepatu yang ada cetangnya, dst, padahal secara fungsi sama dengan produk-produk sejenis, terlalu peduli pada apa yang orang lain katakan tentang dirinya, identitasnya diletakkan pada suatu merk tertentu pada apa yang orang lain bicarakan tentang dirinya.

Banyak “pembelian” ternyata bukan tentang kebutuhan (keputusan rasional) tapi lebih kepada hasrat ingin membeli, Fetisisme komoditas, iklan mngajak kita belanja, bukan belanja dengan rasional, tapi belanja secara emosional, lebih banyak belanja semakin baik, modal harus selalu tumbuh, media sosial menjadi sasaran empuk dalam mendulang keuntungan, masyarakat didorong untuk secara tidak sadar mengkonsumsi sebanyak mungkin produk. Dalam posisi ini, tanpa adanya kesadaran individu sebagai subjek atas produk, akan menjadikan masyarakat hanya sebagai objek untuk mengeruk keuntungan.

Didalam iklim kapitalisasi seperti ini, kemampuan kita untuk mengendalikan emosi atas merk atau simbol menjadi penting. Peran berpikir rasional akan semakin tergerus, jika tidak segera dilatih membedakan mana objek dan mana subjek, mana persoalan dan mana yang bukan persoalan, mana subtansi dan mana gejala.

Era digitalisasi informasi saat ini, menjadikan informasi begitu mudah membanjiri ruang publik, bahkan mencapai posisi surplus informasi. Kita bebas memilih informasi apapun untuk mau menjadi apapun, atau justru menjadi Anxiety atau cemas saat dihadapkan pada banyak pilihan informasi (paradox of choice), bahkan karena banyaknya informasi membuat kita kehilangan kepercayaan diri dalam menentukan nilai apa yang paling sesuai dengan dirikita atau kemampuan mendengarkan suara hati kita sendiri yang paling dalam. Untuk bisa mengatasi problem seperti ini adalah mulai kembali berpikir dengan rasional daripada emosinal. Berpikir rasional mengajak kita untuk melihat permasalahan dengan lebih jernih.

Kualitas Demokrasi juga tentang kualitas bahan bakunya, bahan bakunya adalah manusia, masyarakatnya, manusia dengan pikirannya. Demokrasi seperti juga tekhnologi, selalu dalam posisi netral, manusia yang kemudian menjadikannya bernilai atau tidak, bernilai atas apa? atas azas kemanfaatan, lebih banyak kerusakan ataukah kebaikan yang dihasilkan olehnya. kerusakan tidak lepas dari adanya suatu yang salah dalam menetukan mana yg persoalan dan tidak, mana yang subtansi dan mana yang gejala, masalah pertama ada sejak dari hulu yaitu saat input data & cara menggunakan alat analisa sehingga output yang dihasilkan justru kontra produktif.

Banyaknya pengetahuan penting sebagai data, namun alat analisa menjadi lebih penting untuk menghasilkan kualitas keputusan. Demokrasi secara bersamaan harus diimbangi dengan kemampuan masyarakat menganalisa, sebagai kontrol sistem itu sendiri, sehingga kualitas kebijakan mempunyai dasar yang tepat. Satu sisi kebebasan (liberty) teraktualisasi dengan tanpa melukai tujuan kesetaraan (equality) dimana maksud dari sistem demokrasi dibentuk. Distribusi keadilan akan lebih tampak disitu.

Peningkatan kemampuan berpikir rasional daripada emosinal adalah hasil dari latihan-latihan secara terus menerus terutama di ruang publik, dan latihan-latihan itu bisa dimulai dengan kesadaran berliterasi dan kemauan untuk berdialog.

Banyaknya pengetahuan penting sebagai data, namun alat analisa menjadi lebih penting untuk menghasilkan kualitas keputusan. Demokrasi secara bersamaan harus diimbangi dengan kemampuan masyarakat menganalisa, sebagai kontrol sistem itu sendiri, sehingga kualitas kebijakan mempunyai dasar yang tepat. Satu sisi kebebasan (liberty) teraktualisasi dengan tanpa melukai tujuan kesetaraan (equality) dimana maksud dari sistem demokrasi dibentuk. Distribusi keadilan akan lebih tampak disitu.

Peningkatan kemampuan analisa menggunakan rasio daripada emosi adalah hasil dari latihan-latihan secara terus menerus terutama di ruang publik, dan latihan-latihan itu bisa dimulai dengan kesadaran berliterasi dan kemauan untuk berdialog.

Dolcinea ku

Rasa cinta selalu meninggalkan keresahan, namun jiwa ini takkan rela untuk redup krna engkau tinggalkan.

Mampukan aku menemuimu,
kau tampak begitu indah bagi mata dan jiwa,
kau batu rubi yg memang mahal
kita berbincang2 disela2 kesibukan,
kesibukan utk kuat dan berevolusi
apa benar tidak saling memiliki adalah juga suatu keindahan dlm cinta.
bisakah kita menghindari untuk saling menipu
jiwa kita telah bertemu karena melewati pintu materi,
materi ini sangat menipu mata kita,
kata, makna, dan definisi kitalah yg membuatnya,
presepsi kitalah yg menilainya,
sedangkan materi itu sendiri “ada” meskipun tanpa nama tanpa usaha kita menamainya,
larutkah aku pada perasaanku
masihkah aku melihatmu dengan harapan, bagaimana jika tak sesuai harapan.
Jika “harapan” yg sibuk kita perbincangkan maka kita lebih mencintai “konsep” kita drpada kita pada nyatanya,
bisakah kita mencintai manusia, termasuk mencintai kekecewaan karena mereka?

Dihukum sebab akibat

ada pernyataan “serahkan semua pada Tuhan”, bukankah mereka lupa bahwa tuhan sudah mnyerahkan semua sepenuhnya pada hukum Sebab-Akibat, dan itu sudah tuhan buat sejak dulu, sdh lama sekali saat gerakan benda-benda angkasa & kehidupan dimulai, lalu Dia tdk lgi bersemayam dlm “Waktu”, krna tuhan tdk mngkin berwaktu, tdk ada istilah bagi tuhan berubah “pikiran” tanda kutip. so, serahkan pada hukum Sebab-Akibat, itulah cara berharap yg paling baik, “berdoa” itu tdk mngubah apapun yg sdh di buat Nya, tpi berdoa akan mengubah sikap kita dihadapan ketakpastian yg bergerak oleh hukum kausalitas (sebab-akibat) tadi. lebih ada “gerakan” dripada sekedar “kepasrahan”, hukum sebab akibat ada di tangan kita masing masing. (K.N.D)

Sepinya Eksistensi

Tidak semua org bisa memahami eksistensinya sendiri, begitu pula “dikte” dari budaya yg kdg mmbuat kmu tak mudah berdaya utk memilih sebagai kmu seutuhnya, saat kmu mmbahas ini mngkin kmu tidak lagi “umum” not common sense, org tak nyaman klo kmu tak mudh d pahami maka org lbh memilih memahamimu dngn jalan pikirannya sendiri, memahami itu sebuah jalan plural yg intim – butuh pengorbanan kepada altar harga diri jga keikhlasan – layaknya matahari yg sadar tugasnya memberi. jalan sunyi lah yg kmu pilih mskipun disekitarmu ramai dn mskipun selalu bersuka cerita brsma mereka.