Berpikir Rasional dalam Demokrasi

oleh : Kahn

17 Okt 2020

Tujuan tulisan : Mereduksi emosi, untuk mengembalikan peran individu sebagai subjek dan bukan lagi mnjadi objek dari luar dirinya

MENGHARGAI bukan berarti Setuju, tidak setuju juga tidak harus memaki-maki, kritis tidak sama dengan caci-maki, kritis tidak sama dengan bullying, kritis adalah tentang argumen rasional apa yg paling menguatkan dalam penyelesaian masalah, lebih mengedepankan adanya dialog.

Mengemukakan pendapat itu penting tanpa membuat suatu hubungan menderita, berpikir rasional merupakan kemampuan seseorang untuk berfikir relevan dan logis didukung oleh data yang bisa dipertanggung jawabkan, dan tanpa melibatkan sentimen personal.

Tentang emosi, By desain, media sosial memang mau memancing otak yang mengatur emosi, agar masyarakat berlomba-lomba untuk mengkonsumsi (konsumtif) semakin banyaknya konten tidak lepas karena adanya support Iklan, peran Iklan menjadi penting, Iklan membangun merk, dan merk menjadi simbol identitas seseorang – lebih percaya diri saat memakai merk atau simbol tertentu, contoh : merasa punya status sosial yang superior (by case) saat gadget kita tertera logo Apel digigit atau sepatu yang ada cetangnya, dst, padahal secara fungsi sama dengan produk-produk sejenis, terlalu peduli pada apa yang orang lain katakan tentang dirinya, identitasnya diletakkan pada suatu merk tertentu pada apa yang orang lain bicarakan tentang dirinya.

Banyak “pembelian” ternyata bukan tentang kebutuhan (keputusan rasional) tapi lebih kepada hasrat ingin membeli, Fetisisme komoditas, iklan mngajak kita belanja, bukan belanja dengan rasional, tapi belanja secara emosional, lebih banyak belanja semakin baik, modal harus selalu tumbuh, media sosial menjadi sasaran empuk dalam mendulang keuntungan, masyarakat didorong untuk secara tidak sadar mengkonsumsi sebanyak mungkin produk. Dalam posisi ini, tanpa adanya kesadaran individu sebagai subjek atas produk, akan menjadikan masyarakat hanya sebagai objek untuk mengeruk keuntungan.

Didalam iklim kapitalisasi seperti ini, kemampuan kita untuk mengendalikan emosi atas merk atau simbol menjadi penting. Peran berpikir rasional akan semakin tergerus, jika tidak segera dilatih membedakan mana objek dan mana subjek, mana persoalan dan mana yang bukan persoalan, mana subtansi dan mana gejala.

Era digitalisasi informasi saat ini, menjadikan informasi begitu mudah membanjiri ruang publik, bahkan mencapai posisi surplus informasi. Kita bebas memilih informasi apapun untuk mau menjadi apapun, atau justru menjadi Anxiety atau cemas saat dihadapkan pada banyak pilihan informasi (paradox of choice), bahkan karena banyaknya informasi membuat kita kehilangan kepercayaan diri dalam menentukan nilai apa yang paling sesuai dengan dirikita atau kemampuan mendengarkan suara hati kita sendiri yang paling dalam. Untuk bisa mengatasi problem seperti ini adalah mulai kembali berpikir dengan rasional daripada emosinal. Berpikir rasional mengajak kita untuk melihat permasalahan dengan lebih jernih.

Kualitas Demokrasi juga tentang kualitas bahan bakunya, bahan bakunya adalah manusia, masyarakatnya, manusia dengan pikirannya. Demokrasi seperti juga tekhnologi, selalu dalam posisi netral, manusia yang kemudian menjadikannya bernilai atau tidak, bernilai atas apa? atas azas kemanfaatan, lebih banyak kerusakan ataukah kebaikan yang dihasilkan olehnya. kerusakan tidak lepas dari adanya suatu yang salah dalam menetukan mana yg persoalan dan tidak, mana yang subtansi dan mana yang gejala, masalah pertama ada sejak dari hulu yaitu saat input data & cara menggunakan alat analisa sehingga output yang dihasilkan justru kontra produktif.

Banyaknya pengetahuan penting sebagai data, namun alat analisa menjadi lebih penting untuk menghasilkan kualitas keputusan. Demokrasi secara bersamaan harus diimbangi dengan kemampuan masyarakat menganalisa, sebagai kontrol sistem itu sendiri, sehingga kualitas kebijakan mempunyai dasar yang tepat. Satu sisi kebebasan (liberty) teraktualisasi dengan tanpa melukai tujuan kesetaraan (equality) dimana maksud dari sistem demokrasi dibentuk. Distribusi keadilan akan lebih tampak disitu.

Peningkatan kemampuan berpikir rasional daripada emosinal adalah hasil dari latihan-latihan secara terus menerus terutama di ruang publik, dan latihan-latihan itu bisa dimulai dengan kesadaran berliterasi dan kemauan untuk berdialog.

Banyaknya pengetahuan penting sebagai data, namun alat analisa menjadi lebih penting untuk menghasilkan kualitas keputusan. Demokrasi secara bersamaan harus diimbangi dengan kemampuan masyarakat menganalisa, sebagai kontrol sistem itu sendiri, sehingga kualitas kebijakan mempunyai dasar yang tepat. Satu sisi kebebasan (liberty) teraktualisasi dengan tanpa melukai tujuan kesetaraan (equality) dimana maksud dari sistem demokrasi dibentuk. Distribusi keadilan akan lebih tampak disitu.

Peningkatan kemampuan analisa menggunakan rasio daripada emosi adalah hasil dari latihan-latihan secara terus menerus terutama di ruang publik, dan latihan-latihan itu bisa dimulai dengan kesadaran berliterasi dan kemauan untuk berdialog.

Tinggalkan komentar